![]() |
Bupati Blora H.Djoko Nugroho saat membeberkan permasalahan kehutanan di hadapan Staf Khusus Wapres Wijayanto Samirin. (foto: ag-infoblora) |
Hal itu beberapa kali disampaikan Bupati
H.Djoko Nugroho dalam berbagai kesempatan. Seperti saat bertemu dengan Staf
Khusus Wakil Presiden bidang ekonomi dan keuangan, Wijayanto Samirin MPP pekan
laku di Rumah Dinas Bupati, didampingi Wakil Bupati H.Arief Rohman M.Si, Sekjen
Ilusa Dandung, dan jajaran SKPD.
Menurut Bupati kekayaan hutan jati di
Blora belum bisa mengangkat perekonomian masyarakat. Tingkat kemiskinan di
Kabupaten Blora di tahun 2016 masih tergolong tinggi, dan parahnya
kantong-kantong kemiskinan berada di desa hutan. Bupati ingin Perhutani bisa
memberikan kontribusi yang lebih besar untuk kemakmuran warga masyarakat
Kabupaten Blora.
Agar masyarakat tahu, Bupati pun memaparkan
perhitungan perolehan provisi sumber daya hutan (PSDH) yang selama ini diterima
Kabupaten Blora. “Dalam menentukan nilai komoditas hutan, Perhutani terlebih
dahulu menetapkan harga patokan kayu jati sebagai dasar hitungan pembagian
hasil dengan pemerintah daerah. Kalau dalam perhitungan pajak istilahnya NJOP,”
ucap Bupati Djoko Nugroho.
Perhutani melalui Permenhut Nomor P.68
menetapkan harga dasar kayu A1 berdiamater kurang dari 20 cm sebesar Rp 1,2
juta per m3, kayu A2 diamater 21-29 cm dipatok harga Rp 1,9 juta per m3, dan
kayu A3 berdiameter 30 cm keatas dihargai Rp Rp 3,5 juta per m3.
Sebagai contoh di tahun 2014 jumlah
produksi kayu jati di seluruh wilayah Kabupaten Blora mencapai 88.290,647 m3
yang terdiri dari 17 persen jati A1, 20 persen jati A2 dan 63 persen jati A3.
Maka nilai kayu
1. Jati A1 (88.290,647 m3 x 17 persen) x Rp 1,2 juta = 18,1 miliar
2. Jati A2 (88.290,647 m3 x 20 persen) x Rp 1,9 juta = 33,5 miliar
3. Jati A3 (88.290,647 m3 x 63 persen) x Rp 3,5 juta = 185,4 miliar
1. Jati A1 (88.290,647 m3 x 17 persen) x Rp 1,2 juta = 18,1 miliar
2. Jati A2 (88.290,647 m3 x 20 persen) x Rp 1,9 juta = 33,5 miliar
3. Jati A3 (88.290,647 m3 x 63 persen) x Rp 3,5 juta = 185,4 miliar
Dengan perhitungan tersebut total harga
komoditas kayu hasil hutan milik Perhutani di Blora selama tahun 2014 mencapai
total Rp Rp 237 miliar.
“Aset hasil hutan sebesar Rp 237 miliar
itu bukan serta merta dibagi dua antara Perhutani dan Pemkab Blora. Tetapi
masih ada hitungannya lagi dimana daerah hanya menerima besaran PSDH sebesar 6
persen dari seluruh hasil hutan setiap tahunnya. Jadi 6 persen dari Rp 237
miliar, yakni 14,22 miliar,” jelas Bupati.
Lebih parahnya lagi, dari Rp 14,22 miliar
tersebut tidak semuanya menjadi hak daerah penghasil hutan. “Rp 14,22 miliar
itu masih harus dibagi lagi dengan Kementerian Kehutanan, Pemerintah Provinsi,
dan daerah lain di sekitar kabupaten penghasil yang masih seprovinsi,” keluh
Bupati.
Selama ini Perhutani kerap mengumumkan ke
masyarakat bahwa pemerintah daerah menerima dana bagi hasil hutan sebesar 32
persen dari total produksi. Ternyata menurut Bupati itu tidak benar. Daerah penghasil
hanya menerima 32 persen dari 6 persen PSDH yang diatas telah dihitung sebesar
Rp 14,22 miliar, 20 persen untuk Kementerian Kehutanan, 16 persen untuk
provinsi dan 32 persen lainnya untuk daerah lain disekitar Blora.
“Yang benar daerah menerima 32 persen
hasil hutan dari 6 persen PSDH total. Yakni 32 persen dari Rp 14,22 miliar,
diperoleh Rp 4,55 miliar. Bayangkan saja dari hasil total harga aset kayu Rp
237 miliar, Blora hanya dapat Rp 4,55 miliar. Ini sangat tidak adil, padahal
Perhutani saat menjual kayu bisa mendapatkan harga yang jauh lebih tinggi dari
harga dasar kayu yang mereka tetapkan dalam Permenhut. Sampai-sampai para
perajin kayu jati Blora tidak mampu membeli kayu Perhutani,” tegas Bupati.
Diketahui bersama jumlah desa hutan di
Kabupaten Blora mencapai 83 desa yang terdiri lebih dari 200 ribu jiwa. “Kalau
setahun kontribusi Perhutani untuk Blora hanya Rp 4,55 miliar, apa cukup untuk
membangun perekonomian warga desa hutan yang jumlahnya 200 ribu jiwa lebih? Padahal
jalan desa-desa hutan masih banyak yang rusak karena statusnya adalah jalan
Perhutani. Saya minta Perhutani bisa merubah regulasi bagi hasil hutan agar
daerah penghasil kayu jati seperti Blora ini bisa lebih makmur. Kalau bisa 32
persen itu bukan dari 6 persen PSDH namun 32 persen dari total harga komoditas
hasil hutan,” lanjut Bupati.
Bupati pun ingin bertemu langsung dengan
Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup (Menhut LH) dan jajaran direktur utama
BUMN Perhutani untuk membicarakan permasalahan Blora ini.
“Saya yakin hal ini tidak hanya dialami
Blora, tetapi dialami juga oleh semua kabupaten/kota yang memiliki hutan luas.
Saya akan ajak para kepala daerah yang memiliki hutan luas untuk duduk bersama,
menyamakan persepsi agar bisa bersama-sama memperjuangkan keadilan perolehan
hasil hutan. Biar Bu Menteri dan Perhutani bisa melakukan perubahan
regulasinya,” ucap Bupati asli Cepu ini.
Mendengar pemaparan Bupati tentang
masalah kehutanan yang sangat kompleks tersebut, Staf Khusus Wapres bidang
Ekonomi dan Keuangan, Wijayanto Samirin MPP pun turut prihatin dengan keadaan
Blora.
“Ini baru pertama kalinya saya datang ke
Blora. Sebelumnya dalam pikiran saya Blora itu punya hutan jati yang luas dan
gudangnya kayu jati kualitas wahid. Namun ternyata setelah saya datang kesini,
ada permasalahan besar di bidang kehutanan yang harus segera disikapi,” ujar
Wijayanto Samirin.
Menurut Wijayanto Samirin, kalau memang
Bupati berkeinginan untuk segera menyelesaikan masalah ini dengan Bu Menteri
Kehutanan LH dan Dirut Perhutani. Dirinya akan siap membantu, mengkomunikasikan
dengan Wapres Jusuf Kalla, Menteri Kehutanan LH dan Dirut Perhutani. “Nanti
akan saya aturkan jadwal agar Bupati bisa bertemu Menteri Kehutanan LH dan
Dirut Perhutani. Pointer-pointer permasalahan ini akan dibawa ke pusat,” lanjut
Wijayanto.
Sementara itu Wakil Bupati Blora, H.Arief
Rohman M.Si saat dihubungi Info Blora kemarin mengatakan bahwa pihak Pemkab
masih menunggu jadwal dari sekretariat wapres terkait pertemuan Bupati dengan
Menteri Kehutanan LH dan Dirut Perhutani.
“Masih menunggu kabar dari Sekretariat
Wapres agar bisa bertemu dengan Menteri Kehutanan dan Dirut Perhutani. Yang
jelas kita akan berusaha terus agar masalah kehutanan ini bisa secepatnya
selesai,” kata Arief Rohman, Senin (23/5).
Dalam kesempatan lainnya, Bupati H.Djoko
Nugroho juga sudah memaparkan permasalahan kehutanan ini di hadapan Gubernur
Ganjar Pranowo dan DPRD Jawa Tengah. Lembaga eksekutif dan legislatif di
Provinsi Jawa Tengah ini pun terkejut saat mengetahui kondisi Blora.
(rs-infoblora)
1 komentar:
Sebuah kasus, tentu banyak sisi yang perlu dicermati secara menyeluruh dan bijak dengan pandangan seluas tanggung jawab dan kewenangan yang dianatkan kepada seseorang.
Dengan demikian cara pandang seseorang tentu akan semakin bijak saat seseorang memiliki kewenangan dan tanggungjawab semakin besar... Tuhan Maha Mengetahui ...
Post a Comment